Kapal KPLP Peninggalan Tsunami Aceh 2004

Dua kapal teronggok di depan rumah masyarakat. Kapal bercorak hitam tersebut seakan ingin beradu. Keduanya cuma dibatasi tumbuhan kelapa. Kapal ini menggambarkan salah satu saksi mata bisu keganasan tsunami Aceh 2004 silam. Dua kapal tersebut berposisi di kawasan Gampong Blang Cut, kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh, bersebelahan dengan web PLTD kapal PLTD Apung, kapal patroli laut dan tepi laut (kplp)  kepunyaan departemen perhubungan tersebut sampai satu dekade ini masih seperti sedia kala. Nyaris belum tersentuh pemerintah. Menurut warga gampong Blang Cut, pemerintah sempat ingin memotong-motong tubuh kapal.  Akan tetapi,  masyarakat sekitar menolak, masyarakat menginginkan kawasan itu dijadikan monumen peninggalan tsunami.

Semenjak gelombang tsunami menerpa sebagian besar Aceh dan sekitarnya, 26 desember 2004, ada beberapa monumen menjadi peringatan dan saksi mata bisu musibah yang merenggut ribuan nyawa tersebut, di antara lain beberapa kapal yang semula berposisi di laut tiba-tiba berada di tengah-tengah permukiman penduduk. Contohnya kapal yang terdapat di atas rumah penduduk di gampong Lampulo, kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Begitu juga kapal milik PT Semen Andalas yang terhempas dari pelabuhan ke daratan sekira 4 km. Kapal itu saat ini berposisi di kecamatan Lhoknga, kurang lebih sekitar 45 menit perjalanan dari kota Banda Aceh. Yang terkenal pasti kapal kepunyaan PLN yang berbobot 2600 ton. Kapal ini terseret ombak kurang lebih 3 km ke gampong Punge Blang Cut, kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Untuk menuju tempat tersebut, wisatawan melintasi gang yang lumayan sempit, semak belukar mengelilingi kiri-kanan kapal. Seperti kotak amal diletakkan di dekat anak tangga kapal. Berkat uluran tangan masyarakat, bangkai kapal masih lumayan terpelihara.

Kapal milik Adminitrasi Pelayaran (ADPEL) Malahayati KPLP yang dibawa arus gelombang tsunami di Punge Blang Cut selama ini dijaga dan dirawat oleh warga seadanya. Dua unit kapal milik Administrasi Pelayaran (APDEL) Malahayati ialah KPLP KN 328 yang ukurannya kurang lebih 25×8 m dan KN 430 Malahayati yang mempunyai ukuran kurang lebih 15×5 m yang dibawa arus gelombang tsunami pada 26 desember 2004 silam dirawat oleh masyarakat dengan seadanya. Kapal itu sangat memprihatinkan, karena tidak terawat dengan baik. Walaupun demikian banyak tamu yang mendatangi kapal tersebut terutama wisatawan asing, meskipun belum diresmikan menjadi objek wisata oleh pihak pemerintah. Warga mengakui kalau tidak banyak yang mengetahui keberadaan kapal tersebut terutama wisatawan lokal karena tidak diperuntukan menjadi objek wisata. Hal ini sangat disayangkan karena kedua kapal itu menggambarkan peninggalan yang tidak ternilai harganya.

Warga juga menceritakan kalau sebelumnya pihak ADPEL sempat ingin memusnahkan kapal tersebut dengan cara memotong, namun pihak masyarakat bersikeras mempertahankannya sampai melaksanakan penjagaan hingga malam hari supaya kapal itu tidak di lenyapkan. Sebelumnya pihak masyarakat sempat berencana untuk menggeser dari posisi terdampar, dengan alasan kapal tersebut menggangu masyarakat karena letaknya diatas badan jalan/lorong,  tetapi masyarakat takut merubah nilai sejarah nantinya. Oleh karena itu keberadaan kapal itu dibiarkan dengan wujud aslinya. Warga sangat berharap kepada pihak Pemerintah terutama Dinas Parawisata Kota Banda Aceh agar kapal tersebut bisa dijadikan objek wisata tsunami sama halnya dengan Kapal PLTD Apung dan kapal di atas rumah di Lampulo. Karena itu bisa menjadi aset pemerintahan Kota Banda Aceh selain menambah PAD juga bisa menambah pendapatan warga.

Share:

0 komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *